PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN MORAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah di kaitkan dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi dan konflik antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan dipihak lain terdapat keinginan agar ilmu berdasarkan pada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuwan diantaranya agama. Konflik ini bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam namun juga dalam ilmu-ilmu sosial dimana berbagai ideologi mencoba mempengaruhi metafisik keilmuwan. Kejadian ini sering terulang, dimana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan das sollen dari ajaran moral yang terkandung dalam ideologi tertentu, dan  bukan das Sein sebagaimana dituntut oleh hakikat keilmuwan.
Pengembangan konseptional yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi baik dalam bentuk hardware maupun software yang oleh Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi ke manipulasi”. Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dengan faktor lain atau secara filsafati dapat dikatakan, dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan, sedangkan epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan ilmiah disebut metode ilmiah.
Penalaran otak itu luar biasa, demikian kesimpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah. Sedangkan sebodoh–bodoh umat kerbau, kita tidak curang dan serakah... pernyataan yang lugu ini, namun benar dan kena, sungguh menggelitik nurani kita, benarkah bahwa makin cerdas seseorang, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita?”Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta.
B.                 Rumusan Masalah
Dalam makalah yang berjudul pengetahuan dan perkembangan ilmu ini akan membahas tentang “Benarkah bahwa makin cerdas seseorang, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita?”
C.                 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk membahas tentang pengetahuan dan perkembangan ilmu dari sudut pandang filsafat baik itu dari sisi ontologi, aksiologi maupun epistemologi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.                 ILMU DAN MORAL
 Sejak dalam tahap tahap pertama pertumbuhanya ilmu sudah di kaitkan dengan tujuan perang. ilmu bukan saja di gunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi  sesama manusia dan menguasai merekadi pihak lain, perkembanaga ilmu sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya : manusialah yang akhirnya harus menysuaikan diri dengan teknologi . teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan ekstensinya sendiri.
            Dewasa ini ilmu sudah berada di ambang kemajuan yang memepengaruhi repolusi dan penciptaan manusia sendiri jadi, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakyat manusia it sendiri. Menghadapi kenyataan seperti ini ilmu pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal hal yang bersifat seharusnya. Sebenarnya sejak saat pertumbuhanya ilmu sudah terkait dengan masalah masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda  ketika cuoernicus(1473-1543) mengajukan teorinya tentang kekuasaan alam dan menemukan bahwa ( bumi yang berputar mengelilingi matahari ) dan bukan sebaliknya seperti yang di ajarkan dalam agama, maka timbulah interaksi antara ilmu dan moreal ( yang bersumber dalam ajaran agama ) yang berkonotasi fisik. Secara meta fisik ilmu mempelajari alam sebagai mana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan pernyataan atau nilai nialai yang terdapat dalam ajaran ajaran dalam ilmuwan di antaranya agama. Timbulah konflik yang bersumberpada penfsiran ini yang berakumulasi pada pengadilan ikuisisi galileo pada tahun 1633. Galileo(1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut di paksa untuk mencabut pernyataanya bahea bumi berputar mengelilingi matahari dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakan ilmu yang berdasarkan penaksiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ ilmu yang bebas nilai setelah pertarungan kurang lebih 250 tahun maka para ilmuwan menempatkan kemenangan. Setalah itu ilmu memeperoleh dalam melakukan penelitianya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dotmatik ini maka leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Dalam tahap ini ilmu bertujuan menjelaskan gejala gejala alam untuk bertujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi bertujuan manipulasi faktor faktor yang terkait dalam gejalah tersebut unyuk mengontrol proses yang terjadi. Dalam tahap manipulasi inilah maka mensalah moral muncul kembali namun dalam kaitan dalam faktor lain. Kalau dalam tahap kontenplasi maslah moral berkaaitan dengan metafisika keilmuwan maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan dengan pengatahuan ilmiah.
Dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah norma yang ditinjau dari segi intologi keilmuwan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral di tinjau dari segi aksiologi keilmuwan seoeti diketahui setiap pengatahuan, termaksut pengatahuan ilmiah mempnuyai 3 dasar yakni intilogi, etistonolgi dan aksiologi. Etistelogi membahas cara untuk mendapatkan pengatahuan yang dalam kegiatan ilmuwan disebut metode ilmiah. Masalah teknilogi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Aritinya, dihadakan dengan akses teknologi tang bersifat negatif, maka masyarakat herus menentukan teknologi mana saja yang harus dipergunakan dan teknologi mana yang taidak digunakan. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menempatkan suatu strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai nilai budaya yang di junjungnya.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi dalam 2 golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu herus bersifat netral terhadap nilai nilai baik itu secara antolgis maupun aksiologis. Golonagan ke 2 sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan sedangakan dalam penggunaanya bahkan penelitian objek maka kegiatan keilmuwan harus berlandasarkan asas asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan kemoralan manusia, carles darwin berkata bahwa ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada waktu era Gelileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua berdasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni:
1.      Ilmu secara faktual di pergunakan secara destruktif oleh manusia yang di buktikan degan adanya dua perang dunia mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.
2.      Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehinga kaum ilmua lebih mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3.      Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dima terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusian yang paling hakiki seperti pada kasus refolusi genetika dan tehnik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk  kebaikan manusia tampa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian.
Masalah moral tak bisa dilepaskan degan tekat manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran di perlukan keberanian moral. Sejarah kemanusian di hiasi degan semangat paramarpir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka angap benar peradaban telah menyaksikan sokrates dipaksa meminum racun dan johnhuss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti disini: kemanusian tak pernah urung dialami umtuk menemukan kebenaran. Tampa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti degan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran “ segalanya punya moral “, kata alice dalam petualangannya di negri ajaib “ asalkan kau mampu menemukannya ( adakah yang lebih gemerlap dalam gelap, keberanian yang esensial, dalam afontur intelektual ? )
B.                 TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat ilmuwan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan di gunakan oleh masyarakat tersebut. Atau degan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan pengunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu dimana penemuan seseorang seperti newton dan edison dapat mengubah perbedaan.
Secara historis fungsi sosial dari kaum ilmuwan mempunyai tangung jawab sosial yang terpikul di bahunya. Para ilmuwan pada waktu itu bersuara mengenai toleransi agama dan pembakaran tukang-tukang sihir akhir-akhir ini di kenal nama seperti andrew sekharov yang bukan saja mewakili sikap pribadinya namun pada hakikatnya mencermikan sikap kelembagaan propesi keilmuwan dalam menangapi masalah-masalah sosial untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tangung jawab seworang ilmuwan maka ini dapat di kembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten degan proses penelaahan keilmuwan yang di lakukan sering di katakan orang bahwa ilmu itu terbatas dari sistem nilai ilmu itu sendri netral dan para ilmuwanlah yang memberi nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung dalam langkah-langkah keilmuwan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuwan secara keseluruhan katakanlah umpamanya seorang ilmuwan di bidang hukum bersuara mengenai praktek ketidak adilan di bidang proses hukum dan bersikap lantang agar masalah ini di jadikan obyek penyelidikan. Bisakah kita katakan bahwa dia tidak di dorong oleh nilai-nilai tertentu yang menyebabkan dia terikat oleh masalah tersebut?
Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari obyak permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan dapat di pergunakan untuk mengubah kegiatan non produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Singkatnya degan kemampuan pengetahuannya  seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyakat ilmuwan yang seyokyanya. Karakteristik lain dari ilmu terletak dalam cara berfikir untuk menemukan kebenaran. Manusia dalam usaha untuk menemukan kebenaran itu ternyata menempuh cara yang bermacam-macam sehingga menimbulkan pemeo: kepala sama berbulu namun pendapat lain-lain.
Memang kita harus bangga degan  julukan kita selakau manusia: homo sapiens, mahluk yang berfikir. Pikiran manusia bukan saja dapat digunakan untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran namun sekaligus juga dapat dipergunakan untuk menemukan dan mempertahankan hal-hal yang tidak benar. Seorang manusia biasa berdali untuk menutup-nutupi kesalahannya baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Dali yang berbahaya adalah  rasionalisasi yang disusun secara sistematis dan meyakinkan. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berfikir degan teratur dan teliti. Bukan saja jalan fikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji degan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tampa suatu pemikiran yang cermat disinilah kelebihan seorang ilmuwan di bandingkan degan cara berfikir seorang awam. Seorang awm kdang-kadang memprcayai asumsi yang tidak benar karena secara sepintas, lalu memang hal itu kelihatanya masuk akal. Seorang awam kadang-kadang terpukau oleh jalan pemikiran yang brilian degan materi yang tidak benar kelebihan seorang ilmuwan dalam berfikir secara teratur dan cermat ini lah yang menyebabkan dia mempunyai  tangung jawab sosial. Dia mesti berbicara pada masyarakat sekitarnya dia mengetahui bahwa berfikir mereka itu keliru.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi eplis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelenktual yang akan meningikan kebenaran sebagai tujuaan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandagan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpangil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai pangalisis materi kebenaran tersebuk namun juga sebagai prototipe kebenaran yang baik di bidang etika tangung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberikan contoh dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyetif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang di angapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat-sifat tersebuk merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah.  Ditigah situasi dimana segenap nilai mengalami kegoncangan maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang di milikinya merupakan kekuatan yang akan memberikannya keberanian demikian juga masyarakat yang sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik degan memberikan suri tauladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuwan ini kurang mendapatkan perhatian baik dari para pendidik maupun para ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan saksama agar kecerdasan itu di lengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Para pendidik bukan saja terlupa memasukkan hal tersebut dalam materi kurikulumnya namun juga gagal memberikan teladan dalam proses belajar mengajar. Kegagalan ini menimpa pula kalangan ilmuwan kita. Salah sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dari segala-galanya,masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain selain kebenaran keilmuwan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuwan ini merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari daripadanya,sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri.
C.                 NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada Presiden Amerika Serikat Franklin D.Roosevelt yang memuat rekomendsi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom. Pernyataan ini sangat menarik dan menyentuh landasan moral yang fundametal.Akhir-akhir ini masalah ini di hadapi oleh presiden Carter mengenai pembuatan atom neutron : apakah Amerika Serikat akan memperlengkapi arsenal persenjataan dengan bom neutron? Masalah yang di hadapi oleh Einstein dan presiden Carter adalah sama namun situasinya berbeda. Amerika serikat tidak berada dalam bahaya dan pembuatan atom neutron hanya akan meningkatkan kemampuan strategi militernya. Sedangkan situasi yang di hadapi Einstein waktu itu adalah keadaan perang yang konkret di mana sekutu mungkin kalah, sekiranya Jerman dapat mengembangkan bom atomnya. Inilah yang menyebabkan Einstein memutuskan untuk menulis surat tersebut. Masalahnya adalah : apakah dengan keputusan tersebut Einstein memihak kepada Amerika serikat selaku seorang warga yang baik? Apakah keputusan Einstein di dasarkan pada nasionalisme dan patriolisme?
Jawabannya adalah tidak. Keputusan Einstein bukanlah di dasarkan kepada nasionalisme atau patriotisme. Dalam persoalan semacam ini ilmu bersifat netral. Walaupun demikian dalm kasus ini instein tidak memilih pihak manapun seperti pihak ilmuwan lainnya, berpihak kepada kemanusiaan yang besar. Kemanusiaan ini tidak mengenal batas geografis, sistem politi atau sistem kemasyarakatan lainnya. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannyan di pergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusian memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial. Pilihan moral ini kadang-kadang memang getir sebab tidak bersifat hitam atas putih. Di perlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara kontruktif.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang di pakai untuk kemaslahatan kemanusiaan atau sebaliknya dapat pula di salahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya di tujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan. Menghadapi masalah tersebut majalah fortune mengadadkan angketyang di tujukan kepada para ilmuwan di Amerika Serikat. Angket tersebut menyimpulkan bahwa 78 persen ilmuwan di perguruan tinggi, 81 persen ilmuwan di bidang pemerintahan dan 78 persen ilmuwan dalam industri berkeyakinan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembinyikan hasil penemuan-penemuan apapun juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga yang akan menjadi konsekuensinya.
Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak berketentuan melainkan melalui proses kumulatif secara teratur. Demikian selanjutnya dimana usaha menyembunyikan kebenaran dalam proses kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan seterusnya. Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu bersifat netral.
Penulis berkeyakinan bahwa dalam aspek inilah ilmu pengetahuan terbebas dari nilai-nilai yang mengikat. Dalam aspek-aspek lainnya seperti apa yang telaah oleh ilmu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu di pergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak,dalam menentukan masalah apa yang akan di telaahnya maka seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan moral. Hal ini bahkan menjorok sampai penyusunan hipotesis. Walaupun begitu maka dalam hasil penemuan akhirnya seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Bagaimana pahitnya hasil penemuan itu bagi obyek yang kita junjung dalam sistem prefensi moral kita,kebenaran tak boleh di sembunyikan.
Seorang ilmuwan tak boleh memutarbalikan penemuannya bila hipotesisnya yang dijunjung tinggi yang di susun di atas kerangka pemikiran yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan dengan fakta-fakta pengujian. Seorang ilmuwan yang di atas landaskan moral memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi ( dia terikat kepada generasi muda) atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif (dia terikat kepada kebijaksanaan pemerintah)maka dalam hasil penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterkaitannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak. Di sini hitam di katakan hitam dan putih di katakan putih, apapun juga konsekuensinya bagi obyek moral yang mendorong dia melakukan penelaahannya. Penyimpangan dalam hal ini merupakan pelanggaran moral yang sangat di kutuk dalam masyarakat ilmuwan. Kenetralan dalam hal di atas itulah yang menjadikan ilmu bersifat universal. Kenetralan dalam proses penemuan kebenaran inilah yang mengharuskan ilmuwan untuk bersikap dalam menghadapi bagaiman penemuan itu di gunakan. Pengetahuan bisa merupakan berkah dan mungkin merupakan kutukan, tergantung bagaimana manusia memanfaatkan pengetahuan tersebut. Bila ilmu pengetahuan di pergunakan tidak sebagaimana mestinya, dan merupakan kutukan maka dalam hal ini ilmuwan wajib bersikap dan tampil ke depan. Seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan kekeliruan dan bertindak sewenang-wenang, dia harus di tantang bahkan di hancurkan.
Pesan Einstein kepada mahasiswa California Institute of Tecnology. Pesan itu di sampaikan pada tahun 1938 atau satu tahun sebelum Einstein menulis surat historis yang melahirkan bom atom. Dia berkata bahwa tidak cukup bagi kita hanya memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah bagi manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua iktiar teknis. Pesan itu di akhiri dengan kata-kata,”jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan”. Sungguh suatu pesan yang patut kita renungkan karena di tengah tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang-kadang kita lupa. Jadi,ternyata ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelektual namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka.
D.                 REVOLUSI GENETIKA
Ilmu dalam perspektif  sejarah kemanusian mempunyai puncak kecermelangan masing-masing, namun seperti kota pandora yang terbuka, kecemelangan itu sekaligus membawa mala petaka. Kimia merupakan ilmiah yang bertujuan mencari obat mujarab untuk kehidupan abadi dan rumus campuran kimia untuk mendapatkan emas. Setelah itu menyusul  fisika yang mencapai  kulminasi pada teori fisika nuklir.  Dan sekarang kita diambang  kurun genetika degan awal revolusi di bidang genetika .
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan degan jast manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksud untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan.  Artinya, jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia , maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu teknologi  yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain , upaya kita di arahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita mengetahui segenap peroses yang berkaitan dengan jantung ,dan di atas pengetahuan itu di kembangkan teknologi yang berupa alat yang beri pemudahan bagi kita yang menghadapi gangguan jantung.dengan penelitian genetika maka masalah akan sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penalaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang di lakukan secara moral dapat di benarkan?.
Jawaban mengenai hal ini harus di kembalikan kepada hakikat ilmu itu sendri. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup ini, yang berkaitan erat dari kajian dan pengaruh ilmiah. Apakah sebenarnya tujuan hidup manusia? Dalam hal ini maka ilmu tidak berwenang untuk menentuka, dan dalam nafas yang sama hal ini berarti, bahwa ilmu tidak berhak menjamah daera kemanusian yang akan mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan tujuan hidupnya. Jagan jamah kemanusian itu sendiri! Mungkin inilah kesimpulan dari kerangka pemikiran ini.
Analisis substantif dari jalan pikiran tersebut diatas membawa kita kepada kita kepada beberapa permasalahan yang bersifat seperti, sekiranya kita mampu membikin manusia yang iQ-nya 160 apakah ilmu bisa memberikan jaminan bahwa dia akan bahagia (sekiranya di terima bahwa kebahagian adalah salah satu tujuan hidup manusia)? Dalam hal ini ilmu tidak akan bisa memberi jawaban yang bersifat apriori  (sebelumnya) sebab kesimpulan ilmiah baru bisa di tarik setelah proses pembuktian yang bersifat aposteriori (sesudahnya). Jadi bila kita secara moral bersedia meluluskan penciptaan manusia yang mempunyai iQ 160 maka degan ilmu pun tidak bisa memberi kan jaminan bahwa dia berbahagia.
Kita harus mencoba dulu dan baru kita akan mengetahui jawbannya, mungkin demikian jawabannya para ahli genetika. Belum lagi di ingat bahwa secara moral mungkin saja orang tidak sependapat bahwa kemulian manusia tidak ada hubunganya dengan iQ 160. Kemulian manusia bagi sebagian orang bukan terletak pada atribut-atribut fisik itu mempunyai makna (religius) tertentu dalam persektif kehidupan yang bersifat teleologis. Mengapa mengutik-ngutik suatu atribut yang terkain degan kepercayaan seseorang yang bersifat sakral? Bahkan pun bila ilmu bisa menjawab segudang pertanyaan mengenai kausalita fisik, ilmu tetap tidak menjamah daerah kemanusiaan ini yang bersifat transendental. Apa lagi , tentu saja, bila di ingat bahwa ilmupun sama sekali buta dalam hal ini, tidak satu pun jawaban yang di punyainya kecuali hipotensis yang ingin di buktikannya.
Pembahasan diatas di dasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset genetika akan di pergunakan degan etikad baik untuk luhuran manusia. Bagamana sekiranya penemuan ini jatuh kepada pihak yang tidak bertanggung jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya sendiri yang bersifat destruktif. Generasi apa yang bisa di berikan bahwa pengetahuan ini tidak akan di pergunakan untuk tujuan-tujuan seperti itu? Melihat permasalahan genetika dari sudut ini makin meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukan di bandingkan dengan kebaikannya sekiranya sekiranya hakikat kemanusian itu sendri mulai dijamah.




BAB III
PENUTUP
A.                 Kesimpulan
1.      Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.
2.      Salah satu sendi masyarakat moderen adalah ilmu dan teknologi, kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari segala-galanya; masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang baik diantaranya adalah Agama.
3.      Pengetahuan bisa merupakan berkah dan mungkin merupakan kutukan, tergantung bagaimana manusia memanfaatkan pengetahuan tersebut.
4.      Adanya pernyataan sikap yang menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal (ontologis) ilmu.
B.                 Saran
Ilmu dan moral adalah penuntun menuju jalan kebenaran hakiki, karena itu kuatkan tekad untuk menemukan kebenaran, agar tidak menjadi manusia yang berilmu namun bersikap picik sehingga berkah pengetahuan dalam bentuk ilmu dan teknologi yang dimiliki bisa menghancurkan peradaban.



DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri jujun s. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Pekerjaan

KUALITAS LULUSAN

Manajemen Sumber Daya Manusia